Nissan Grand Livina barangkali memang layak dinobatkan sebagai Car of The Year untuk tahun 2007 lalu. Diluncurkan bulan April tahun 2007 lalu, produk ini langsung laris manis bak pisang goreng. Laju penjualannya membuat sang penguasa pasar, Kijang Innova, menjadi ketar-ketir. Kisah manis Grand Livina ini seolah mengulang kesuksesan Nissan X-Trail yang pada tahun 2005 pernah menjadi No. 1 SUV in Indonesia. Dua produk ini – dan juga sejumlah varian lain Nissan lainya – lantas melambungkan kembali nama Nissan dalam pasar otomotif di Indonesia, dan juga dalam industri mobil dunia. Padahal sepuluh tahun lalu, kinerja Nissan telah berada di ambang kebangkrutan, dan nyaris masuk liang kubur. Jadi, apa yang membuat Nissan bisa melakukan proses pembalikan (turn around) secara dramatis? Kisah tentang revolusi manajemen di Nissan mungkin tak kalah atraktifnya dengan tampilan manis Grand Livina. Karena itu, mari kita simak bersama.
Alkisah pada tahun 1999, bau kemenyan kematian kian merebak di setiap sudut pabrik Nissan, Jepang. Lini produknya kian dilupakan orang, dan setiap tahun terus didera kerugian demi kerugian. Kinerja keuangannya berdarah-darah, dan pada tahun 1998, hutang Nissan sudah mencapai Rp 200 trilyun (duh, malang benar nasibmu…). Terompet kematian sebenarnya tinggal disuarakan, dan para petinggi Nissan hanya bisa duduk terpekur dalam jerit kesedihan yang teramat perih. Namun persis pada momen memilukan itu, muncul sang dewa penyelamat dari Perancis. Sang dewa itu bernama…….Renault.
Setelah melalui negosisasi yang alot, perusahaan mobil Renault setuju untuk membeli 37 % saham Nissan dan menggelontorkan dana segar untuk menyelamatkannya. Namun, Renault juga minta satu hal : posisi CEO Nissan. Demikianlah, setelah disepakati, Renault lalu mengutus salah satu eksekutif terbaiknya bernama Carlos Ghosn untuk menjadi CEO Nissan (sebuah fenomena yang juga amat langka di Jepang, orang non-Jepang bisa menjadi CEO perusahaan besar Jepang).
Pesan Renault untuk pria keturunan Lebanon ini lugas : segera angkat koper ke Jepang, selamatkan Nissan, dan jangan pernah kembali ke Paris sebelum engkau berhasil. Begitulah, pada pertengahan tahun 1999, Carlos Ghosn resmi menjadi CEO Nissan untuk memulai sebuah mission almost impossible.
Segera sejak itu, Carlos melakukan serangkaian langkah kunci untuk merevitalisasi kebesaran Nissan. Yang pertama ia lakukan adalah building sense of urgency untuk berubah. Pilihan bagi Nissan saat itu memang cuma dua : berubah atau mati. Dan fakta serta data yang ada memang mampu membuat segenap pekerja Nissan percaya bahwa kondisi Nissan sudah berada pada titik nadir, and they have to change to survive.
Langkah berikutnya adalah meluncurkan apa yang ia sebut sebagai Nissan Recovery Plan. Dalam rencana inilah dipetakan secara detail dan jelas tindakan kunci apa saja yang perlu dilakukan untuk mentransformasi Nissan. Dalam recovery plan ini terdapat dua strategi kunci. Yang pertama adalah segera melakukan revitalisasi produkproduk baru Nissan. Proses pengembangan produk baru harus dipercepat dan segera ditingkatkan kapabilitasnya. Disini Nissan merekrut salah satu desainer mobil top Jepang, Shiro Nakamura, untuk menjadi Chief Design Nissan, dan keputusan ini ternyata kelak terbukti amat vital untuk merevitalisasi lini produk Nissan. Strategi yang kedua adalah melakukan efisiensi biaya secara besar-besaran. Termasuk didalamnya adalah menutup pabrik-pabrik yang tidak produktif, mensentralkan proses purchasing secara global agar lebih efisien, serta juga mengeliminasi pekerjaan-pekerjaan yang non value-added.
Langkah terakhir yang dilakukan Carlos Ghosn adalah membetuk Tim Inti yang langsung dikomandani dirinya. Tugas tim ini jelas dan tegas : memastikan bahwa semua yang tercantum dalam recovery plan dapat di-EKSEKUSI dengan tuntas. Eksekusi atau implementasi menjadi kata kunci disini. Dan beruntung, Carlos ternyata bukan tipe leader yang hanya bicara visi, visi dan visi saja alias hanya blah-blah-blah. Carlos merupakan tipe eksekutor sejati. Ia selalu fokus pada hasil (result oriented) dan berorientasi pada bagaimana menuntaskan proses eksekusi. Sikap semacam ini tak pelak merupakan elemen penting untuk memastikan agar semua recovery plan itu tak hanya tinggal rencana – namun benar-benar diimplementasikan sesuai sasaran.
Serangkaian langkah kunci diatas ternyata benar-benar membawa keajaiban. Pada tahun 2001 Nissan telah kembali meraih keuntungan, dan terus mengalami pertumbuhan yang mengesankan hingga hari ini. Melalui tindakan eksekusi yang terukur dan brilian, ternyata Carlos bisa menuntaskan misi yang dibentangkan ke pundaknya. “From Zero to Hero”, begitu mungkin judul yang pas untuk menarasikan drama penyelamatan Nissan.
Nissan Grand Livina dan Nissan X-Trail mungkin boleh terus melenggang di jalanan. Namun setiap kali melihat tampilan mereka yang indah nan elegan, saya selalu teringat akan kisah revolusi manajemen di Nissan : itulah sederet kisah tentang heroisme, tentang spirit perubahan, dan tentang semangat pantang menyerah. Bravo Nissan. Bravo Carlos Ghosn.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar