Sabtu, 11 Juni 2011

Bagaimana Rasanya Bekerja di Google ?

Ya, bagaimana rasanya bekerja di Google? Very fun and very productive…..begitu jawaban yang kira-kira akan diberikan jika pertanyaan ini ditujukan kepada para pekerja Google. Mungkin jawaban seperti inilah yang akhirnya menobatkan mereka sebagai jawara nomer satu dalam survei The Best Place To Work For, sebuah survei tahunan yang diselenggarakan oleh Majalah Fortune buat memilih perusahaan terbaik untuk dijadikan tempat bekerja. 
Jika ditelisik lebih dalam mengapa para pekerja di Google begitu enjoy bekerja di perusahaan itu, maka mereka akan memberikan jawaban pada dua hal : fasilitas layanan karyawan yang amat menggiurkan dan – jangan kaget – mutu makanan yang luar biasa sedap.
 Mari kita mulai bahas dari aspek makanan. Pertama-tama mesti segera disebut, mutu dan jenis makanan yang disediakan Google untuk para pekerjanya sungguh fantastis. Bayangkan, didalam kompleks kantor pusat mereka di Mountain View, California (mereka menyebutnya Googleplex), manajemen Google menyediakan sebelas kafe/restauran dengan menu sekelas menu hotel bintang lima dan semuanya disajikan secara……gratis. Semua jenis dan pilihan makanan tersedia : mulai dari sajian steak khas Eropa, Sushi a la Jepang, hingga sajian Chinese Food yang menggoda. Semuanya dimasak oleh chef kelas dunia. Dan rasa semua makanan yang tersaji pasti……mak nyus.
Begitu senangnya para pekerja Google dengan kantin-kantin ini, sehingga dalam survei internal yang mereka lakukan, mayoritas karyawannya selalu menyebut faktor makanan ini yang membuat mereka sungguh betah bekerja di Google. Fakta ini yang kemudian juga membuat Google melakukan langkah yang kreatif dalam persaingan ketat mencari para calon pekerja andal. Dalam setiap iklan lowongan kerja yang dipasang, mereka selalu tak lupa mencantumkan daftar menu makanan mereka yang sungguh lezat itu…..Dan konon, rupanya banyak calon pelamar yang tergiur sehingga akhirnya berbondong-bondong mengajukan lamaran kerja ke Google. 
Elemen lain yang juga membuat para pekerja Google happy adalah fasilitas layanan yang sungguh menggiurkan. Dalam Googleplex mereka yang luas dan megah, tersedia gym lengkap dengan para pemandunya, kolam renang yang luas, arena bowling, lapangan volley pantai, home-theater yang asyik, perpustakaan lengkap nan nyaman……..Pendeknya memasuki Googleplex ibarat bukan sedang memasuki ruang kantor yang garing nan membosankan, namun seperti tengah masuk ke taman bermain yang indah dan penuh keriangan.
Namun itu semua belum cukup. Didalam kompleks gedungnya, Google juga menyediakan fasilitas otoped untuk berjalan dari satu ruang ke ruang lainnya. Juga ada fasilitas laundry, bengkel dan cuci mobil, serta ruangan spa dimana Anda semua bisa leyeh-leyeh setelah letih seharian lembur kerja. Oh ya, manajemen Google juga tak lupa menyediakan semacam “personal assistant” bagi seluruh pekerjanya. Jadi jika ada karyawan Google yang ingin berlibur ke Paris, mereka tinggal kontak personal assistant ini. Orang inilah yang akan mengurus semuanya : mulai dari pesan tiket pesawat, booking hotel, merancang acara liburan hingga membuatkan daftar oleh-oleh yang layak dibeli. 
Oh my God….betapa indahnya bekerja di Google, begitu mungkin gumam kita dalam hati menyaksikan serangkaian fasilitas yang sungguh menyenangkan ini. Namun, bagi Lary Page dan Sergey Brin – dua anak muda pendiri Google – semua upaya itu memang kudu dilakukan untuk bisa terus memelihara great talent mereka akan tidak lari atau dibajak perusahaan pesaing. Juga untuk terus membuat seluruh pekerja Google happy, sebab hanya dengan begitu, mereka bisa terus menciptakan serangkaian inovasi yang produktif buat para pelanggannya.
Dengan kata lain, untuk terus mampu menciptakan produk kelas dunia, manajemen Google terus berupaya keras untuk memotivasi dan membikin gembira para pekerjanya. Dan itu dilakukan antara lain dengan selalu menyajikan makan siang yang bergizi, lezat, dan bikin lidah bergoyang.

Jumat, 10 Juni 2011

Memberikan pelayanan yang memuaskan pelanggan barangkali merupakan pilihan mutlak yang kudu diambil ketika sebuah entitas bisnis hendak melestarikan kejayaannya. Pertanyannya kemudian adalah : langkah strategis apa yang semestinya diambil agar mantra kepuasan pelanggan tak berhenti pada mantra belaka? Dari sejumlah wacana, kita mungkin bisa menyebut beragam item : mulai dari pengembangan visi yang berfokus pada pelanggan; penumbuhan benih-benih inovasi buat menghasilkan high value added products hingga perintisan budaya service excellence, dan juga perampingan proses bisnis untuk mempercepat pelayanan. Lalu, apakah beragam item ini cukup untuk mewujudkan impian tentang satisfied customers? Jawabannya barangkali tidak.

Sebab sepertinya ada satu item yang punya peran kritikal namun sialnya, selama ini acap luput dalam perbincangan mengenai pemenuhan kepuasan pelanggan. Item itu berbunyi begini: untuk memuaskan pelanggan maka hal pertama yang harus Anda lakukan adalah memuaskan karyawan. Dengan kata lain, you can not create satisfied customers without satisfied employees. Proposisi ini sejatinya didukung juga oleh serangkaian studi di berbagai belahan dunia. Penelitian yang dilakukan oleh Dana Jones (1996) misalnya; menunjukkan adanya hubungan yang positif antara customer satisfaction (CS) dengan employee satisfaction (ES). Artinya tingkat kepuasan karyawan Anda berbanding lurus dengan tingkat kepuasan pelanggan yang Anda miliki — semakin puas karyawan Anda, maka semakin tinggi juga tingkat kepuasan pelanggan Anda, dan sebaliknya. Temuan serupa juga dikenali dan dimanfaatkan oleh Sears & Roebuck, sebuah perusahaan retail terkemuka dari USA. Dari survei tahun yang dilakukan, mereka menemukan bahwa rating kepuasan karyawannya amat menentukan tinggi rendahnya rating kepuasan pelanggan mereka, dan pada ujungnya berpengaruh terhadap tingkat profit yang mereka peroleh. Karena itu, pihak top manajemen Sears kemudian meminta setiap store manager-nya untuk peduli dengan kepuasan karyawannya; sebab faktor ini ternyata amat berpengaruh terhadap kepuasan pelanggan dan juga tingkat profit yang diperoleh tiap outletnya.
Melihat fakta-fakta diatas, lalu apa yang mestinya dilakukan? Jawabannya barangkali jelas. Sejumlah inisiatif untuk memuaskan pelanggan yang selama ini telah diusung ramai-ramai perlu juga dibarengi dengan inisiatif untuk memuaskan karyawan. Ibarat merenovasi rumah, Anda tak mungkin hanya merias dinding-dinding luarnya saja; namun juga musti menciptakan desain interior yang cantik untuk memuaskan para penghuninya. Segenap promosi dan reklame tentang gambar pelanggan yang tersenyum puas hanya akan menjadi sebuah parodi manakala itu tak dibarengi dengan sebuah keseriusan untuk memberikan pelayanan yang sempurna kepada para “pelanggan didalam” – yakni barisan para karyawan.
Dalam konteks ini ada sejumlah inisiatif yang layak diusung untuk memuaskan para karyawan; semisal : membangun lingkungan kerja yang kondusif; menawarkan variasi tugas yang challenging; menciptakan career plan yang jelas atau juga menyodorkan paket remunerasi yang atraktif. Bahkan, beberapa perusahaan kelas dunia tak segan mengerahkan segenap energinya untuk benar-benar memberikan “layanan super istimewa” bagi para karyawannnya (lihat tulisan saya berikutnya tentang bagaimana Google memperlakukan para karyawannya bak seorang raja).
Harapannya, sejumlah inisiatif diatas akan dapat menciptakan barisan satisfied employees yang mampu memberikan pelayanan terbaik dan senyum yang tulus bagi para pelanggannya. Dan bukan senyum yang dipaksakan lantaran ada rasa tidak puas yang mengganjal di benaknya. Pendeknya, hanya barisan karyawan yang puas-lah yang benar-benar akan mampu membuat para pelanggan tersenyum dan bersorak riang.

Grand Livina dan Kisah Revolusi Manajemen di Nissan

Nissan Grand Livina barangkali memang layak dinobatkan sebagai Car of The Year untuk tahun 2007 lalu. Diluncurkan bulan April tahun 2007 lalu, produk ini langsung laris manis bak pisang goreng. Laju penjualannya membuat sang penguasa pasar, Kijang Innova, menjadi ketar-ketir. Kisah manis Grand Livina ini seolah mengulang kesuksesan Nissan X-Trail yang pada tahun 2005 pernah menjadi No. 1 SUV in Indonesia. Dua produk ini – dan juga sejumlah varian lain Nissan lainya – lantas melambungkan kembali nama Nissan dalam pasar otomotif di Indonesia, dan juga dalam industri mobil dunia. Padahal sepuluh tahun lalu, kinerja Nissan telah berada di ambang kebangkrutan, dan nyaris masuk liang kubur. Jadi, apa yang membuat Nissan bisa melakukan proses pembalikan (turn around) secara dramatis? Kisah tentang revolusi manajemen di Nissan mungkin tak kalah atraktifnya dengan tampilan manis Grand Livina. Karena itu, mari kita simak bersama.
Alkisah pada tahun 1999, bau kemenyan kematian kian merebak di setiap sudut pabrik Nissan, Jepang. Lini produknya kian dilupakan orang, dan setiap tahun terus didera kerugian demi kerugian. Kinerja keuangannya berdarah-darah, dan pada tahun 1998, hutang Nissan sudah mencapai Rp 200 trilyun (duh, malang benar nasibmu…). Terompet kematian sebenarnya tinggal disuarakan, dan para petinggi Nissan hanya bisa duduk terpekur dalam jerit kesedihan yang teramat perih. Namun persis pada momen memilukan itu, muncul sang dewa penyelamat dari Perancis. Sang dewa itu bernama…….Renault.
Setelah melalui negosisasi yang alot, perusahaan mobil Renault setuju untuk membeli 37 % saham Nissan dan menggelontorkan dana segar untuk menyelamatkannya. Namun, Renault juga minta satu hal : posisi CEO Nissan. Demikianlah, setelah disepakati, Renault lalu mengutus salah satu eksekutif terbaiknya bernama Carlos Ghosn untuk menjadi CEO Nissan (sebuah fenomena yang juga amat langka di Jepang, orang non-Jepang bisa menjadi CEO perusahaan besar Jepang).
Pesan Renault untuk pria keturunan Lebanon ini lugas : segera angkat koper ke Jepang, selamatkan Nissan, dan jangan pernah kembali ke Paris sebelum engkau berhasil. Begitulah, pada pertengahan tahun 1999, Carlos Ghosn resmi menjadi CEO Nissan untuk memulai sebuah mission almost impossible.
Segera sejak itu, Carlos melakukan serangkaian langkah kunci untuk merevitalisasi kebesaran Nissan. Yang pertama ia lakukan adalah building sense of urgency untuk berubah. Pilihan bagi Nissan saat itu memang cuma dua : berubah atau mati. Dan fakta serta data yang ada memang mampu membuat segenap pekerja Nissan percaya bahwa kondisi Nissan sudah berada pada titik nadir, and they have to change to survive.
Langkah berikutnya adalah meluncurkan apa yang ia sebut sebagai Nissan Recovery Plan. Dalam rencana inilah dipetakan secara detail dan jelas tindakan kunci apa saja yang perlu dilakukan untuk mentransformasi Nissan. Dalam recovery plan ini terdapat dua strategi kunci. Yang pertama adalah segera melakukan revitalisasi produkproduk baru Nissan. Proses pengembangan produk baru harus dipercepat dan segera ditingkatkan kapabilitasnya. Disini Nissan merekrut salah satu desainer mobil top Jepang, Shiro Nakamura, untuk menjadi Chief Design Nissan, dan keputusan ini ternyata kelak terbukti amat vital untuk merevitalisasi lini produk Nissan. Strategi yang kedua adalah melakukan efisiensi biaya secara besar-besaran. Termasuk didalamnya adalah menutup pabrik-pabrik yang tidak produktif, mensentralkan proses purchasing secara global agar lebih efisien, serta juga mengeliminasi pekerjaan-pekerjaan yang non value-added.
Langkah terakhir yang dilakukan Carlos Ghosn adalah membetuk Tim Inti yang langsung dikomandani dirinya. Tugas tim ini jelas dan tegas : memastikan bahwa semua yang tercantum dalam recovery plan dapat di-EKSEKUSI dengan tuntas. Eksekusi atau implementasi menjadi kata kunci disini. Dan beruntung, Carlos ternyata bukan tipe leader yang hanya bicara visi, visi dan visi saja alias hanya blah-blah-blah. Carlos merupakan tipe eksekutor sejati. Ia selalu fokus pada hasil (result oriented) dan berorientasi pada bagaimana menuntaskan proses eksekusi. Sikap semacam ini tak pelak merupakan elemen penting untuk memastikan agar semua recovery plan itu tak hanya tinggal rencana – namun benar-benar diimplementasikan sesuai sasaran.
Serangkaian langkah kunci diatas ternyata benar-benar membawa keajaiban. Pada tahun 2001 Nissan telah kembali meraih keuntungan, dan terus mengalami pertumbuhan yang mengesankan hingga hari ini. Melalui tindakan eksekusi yang terukur dan brilian, ternyata Carlos bisa menuntaskan misi yang dibentangkan ke pundaknya. “From Zero to Hero”, begitu mungkin judul yang pas untuk menarasikan drama penyelamatan Nissan.
Nissan Grand Livina dan Nissan X-Trail mungkin boleh terus melenggang di jalanan. Namun setiap kali melihat tampilan mereka yang indah nan elegan, saya selalu teringat akan kisah revolusi manajemen di Nissan : itulah sederet kisah tentang heroisme, tentang spirit perubahan, dan tentang semangat pantang menyerah. Bravo Nissan. Bravo Carlos Ghosn.

Senin, 06 Juni 2011

motor stepper

Motor stepper ada 2 jenis berdasarkan lilitan kumparannya yaitu motor stepper unipolar dan motor stepper bipolar. Motor stepper unipolar memiliki 2 pengawatan setiap phasenya, dengan total 2 phase dan memiliki common. Jika kedua common pada setiap phasenya terhubung secara internal maka hanya terdapat 5 buah terminal. Unipolar menggunakan logika kontrol yang sederhana.

motor stepper bipolar memiliki 1 pengawatan setiap phasenya, dengan total dua buah phase dan tidak memiliki common. Bipolar menggunakan logika kontrol dan rangkaian pengendalian yang lebih rumit, biasanya menggunakan rangkaian H-Bridge. Pengawatan pada Bipolar lebih baik dibandingkan Unipolar untuk berat yang sama, karena bentuk fisik pengawatannya. Dibandingkan Bipolar, Unipolar menggunakan banyak kabel 2 kali lipat untuk luas bidang yang sama tetapi hanya digunakan separuhnya saja pada satu waktu dan menghasilkan efisiensi 50% (kira-kira mencapai 70% pada torsi output yang ada).

Terdapat 4 cara untuk mengendalikan motor stepper unipolar yaitu :
Full Step Drive (2 phase ON)
Metode ini menggunakan Full Step dengan 2 phase selalu ON dan 2 phase selalu OFF sehingga torsi yang dihasilkan maksimal.
Wave Drive
Metode ini menggunakan Full Step dengan hanya 1 phase selalu ON dan 3 phase selalu OFF sehingga torsi yang dihasilkan kecil.
Half Stepping
Metode dengan 1 phase ON kemudian 2 phase ON secara bergantian sehingga torsi yang dihasilkan sekitar 70%. Kelebihan metode ini yaitu sudut pergerakan yang lebih kecil (setengahnya full step) sehingga untuk aplikasi tertentu lebih presisi.
Microstepping
Microstepping adalah mengendalikan motor stepper dengan memberikan setengah gelombang sinyal sinus. Dengan cara ini langkah motor stepper lebih kecil dan halus pergerakannya, mengurangi resonansi pada motor stepper.

Pengaturan Kecepatan Motor DC

Besarnya gaya gerak listrik induksi pad kumparan armatur akibatnya berputarnya rotor yang terletak diantara kutub magnet diperoleh
                                            
Dengan demikian kecepatan putar Motor DC dapat diperoleh dengan mengubah-ubah flux magnet, pengaturan arus armatur atau dengan pengubahan tegangan sumber.

Pengaturan Kecepatan Putar Motor DC dengan Pengaturan Flux Magnet
   Rangkaian listrik pada gambar dibawah menunjukkan kecepatan putar Motor DC akan minimum apabila Ir minimum. Hal ini terjadi apabila VR maksimum.
  Pengaturan kecepatatan motor DC model ini mudah pengerjaannya, murah biayanya dan panas yang terjadi rendah

Pengaturan Kecepatan Putar Motor DC dengan Pengaturan Arus Armatur
  Pada pengaturan jenis ini, putaran yang dihasilkan semakin besar apabila VR dalam kondisi minimum. Pengaturan jenis ini jarang digunakan oleh karena rugi panas yang dihasilkan cukup besar.

Pengaturan Kecepatan Putar Motor DC dengan Pengaturan Sumber Tegangan
  Sebagaimana telah diketahui bahwa variasi tegangan akan memvariasi arus, kondisi dimana arus bervariasi akan menebabkan variasi penguatan medan armatur, sehingga akan memvariasi kecepatan putar.